-->

Lentera Lentera Kecil yang Menerangi Kegelapan

Ada orang-orang yang hidupnya ditakdirkan penuh dengan keberlimpahan dalam kenikmatan hidup. Mewah sandang dan pangan. Mewah papan dan kendaraan. Tinggi kedudukan. Murah rejeki, kemudahan, dan keberuntungan hidup. Seolah-olah setiap jengkal perjalanan hidup  adalah sebuah festival yang layak untuk dirayakan.

Kesibukanya adalah tahaddus bini’mah, menceritakan setiap kenikmatan yang telah Tuhan berikan. Baik lewat facebook dan instagram, maupun media jejaring sosial lainya. Momentum terpenting dalam hidupnya adalah deret peristiwa perayaan dan syukuran. Baik dengan jalan-jalan maupun makan-makan. Katanya, sering-seringlah mengadakan syukuran, agar semua kenikmatan itu dilipatgandakan. Katanya, itu adalah janji suci dari Tuhan.
Tetapi, sayang sejuta kali sayang, seringnya mereka terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Sayangnya, lingkaran pergaulan mereka ya golongan seperti mereka-mereka saja.

Sebaliknya, ada orang-orang yang ditakdirkan hidup dalam dekapan kesederhanaan. Sebenarnya bukan sebuah keniscayaan, tetapi konsekuensi dari sebuah pilihan keyakinan. Bahwa hidup itu tidak boleh hanya untuk dirinya sendiri; mengejar kesuksesan hidup dalam wujud keberlimpahan rejeki, tingginya kedudukan, dan ketenaran diri. Tetapi urip iku urup (hidup itu menyala). Hidup itu harus menjadi lentera atau lilin-lilin kecil yang menerangi kegelapan. Hidup harus memberi manfaat sebesar-besarnya buat orang-orang sekitar. Meski kadang harus merugikan diri sendiri.

Saat terlalu sering bergaul dengan orang-orang dari golongan pertama,  malu sekali rasanya dengan Pak Yono , penambal bal yang rela mengabdikan diri pada anak-anak cacat yang lama tak terurus negara di dusunya di pelosok Kabupaten Kendal.  Atau dengan Mas Irul, pemuda yang gelisah dan tergerak hatinya melihat kondisi pendidikan anak-anak dusun yang luput dari nyamanya fasilitas pendidikan, dengan mendirikan gubuk baca lentera negeri di pelosok Kabupaten Malang. Juga dengan Kang Saleh, yang dalam kesederhanaan hidupnya, masih peduli dengan pendidikan anak-anak kampung yang banyak putus sekolah dan tertinggal dengan mendirikan sekolah gratis di dataran tinggi Kabupaten Bogor yang sebenarnya hanya berjarak 51 km dari ibu kota.

Mereka adalah lentera-lentera kecil yang menerangi kegelapan-kegelapan di pelosok-pelosok negeri. Mereka adalah pemimpin-pemimpin negeri sesungguhnya yang tidak merasa cukup hanya dengan berkata “saya prihatin”. Bukan pula pemimipin yang setiap kebijakanya selalu di sanjung puja oleh media, walaupun sebenarnya terjadi pembusukan disana-sini. Menyalalah selalu wahai para lentera negeri !  Meskipun media tak pernah meliputmu, tetapi Tuhan selalu bersama mu memberkahi hidup mu selalu.[cakshon]
Advertisement

1 komentar:

avatar
This comment has been removed by the author.

Write Comment