-->

Arti Kekalahan Bagi Seorang Mujahid

Kemenangan dan kekalahan adalah sunnah perjuangan. Bentuk-bentuk kemenangan bukanlah hanya berupa kemenangan materi yang kasat mata, tetapi ada makna-makna kemenangan penting lainnya. Pembahasan makna kemenangan ini telah dikupas dalam tulisan sebelumnya di sini diinisiasi dari tulisan syaikh Yusuf Al-Ayiri rahimahullah.

Begitu pula kekalahan, syaikh Al-Ayiri juga menjabarkan makna kekekalahan sejati bagi seorang mujahid. Kekalahan tidaklah selalu berupa kekalahan secara fisik dan hancurnya sebuah pasukan. Permusuhan yang terjadi antara kaum muslimin dan musuh Allah adalah permusuhan prinsip dan keyakinan, maknanya siapa saja yang mampu menanggalkan prinsip dan keyakinan yang dipegang musuh maka ia telah kalah, meskipun secara fisik tetap bugar. Begitu pula sebaliknya, walaupun raga hancur dan nyawa telah berpisah dari raga, kemenangan tetap ia raih selama keyakinan dan prinsipnya tetap ia pegang.

Tiga Makna Kekalahan

Dengan melihat asal muasal permusuhan antara haq dan yang batil, syaikh Yusuf Al-Ayiri dalam kitabnya Ats-Tsawabit ‘Ala Darbi Al-Jihad membagi makna kekalahan bagi mujahid menjadi tiga. Sebenarnya pembahasan ini sangat panjang kata beliau, tetapi ulama Saudi yang tsiqoh ini meringkasnya agar mudah dipahami.

Arti kekalahan sejati bagi para mujahid adalah

Pertama, Mengikuti Agama dan Hawa Nafsu Orang Kafir

Ayat yang paling masyhur dalam masalah ini adalah
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS.Al-Baqarah:120)

Ketika seorang muslim  mundur ke belakang dan menyatakan keikutsertaannya terhadap agama Yahudi, Nasrani atau ajaran kufur lainnya. Misalnya paham sekuler, sosialis, komunis atau ajaran liberal, entah keikutsertaan ini secara menyeluruh atau parsial, maka inilah yang disebut kekalahan.

Terlebih kalau ia sampai mendapatkan keridhoan dari bangsa Yahudi atau Nasrani atau ajaran kufur lainnya. Atau justru mencari aman dengan menarik simpati para musuh Allah agar selamat di dunia menurut pemahaman dangkalnya.

Di dalam Tafsir-nya (I/ 565), Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menerangkan firman Allah Ta‘ala: “Maksudnya, bangsa Yahudi dan Nasrani itu, wahai Muhammad, tidak akan pernah merasa rela kepadamu selamanya, maka jangan mencari hal-hal yang menjadikan mereka ridho dan setuju, konsentrasikanlah dirimu untuk mencari ridho Allah saja dengan cara menyeru mereka kepada risalah kebenaran yang engkau emban, sebab dakwah kebenaranmu itu adalah jalan mempersatukan orang-orang yang mengikutimu di atas kekompakan dan di atas agama yang lurus (Islam).”

Berangkat dari firman Allah yang terang benderang ini seharusnya menjadi perhatian bagi kaum muslimin. Allah memperingatkan akan ketidakrelaan mereka kepada umat Islam hingga millah  mereka diikuti. Nah, ikutnya seorang muslim dengan jalan hidup, millah dan agama mereka adalah bentuk kekalahan bagi seorang muslim. Bahkan, kalau ada seorang muslim yang lebih membanggakan ideologi selain Islam atau justru mendiskreditkan syariat Allah, itulah bentuk kekalahan terbesar.

Mengikuti hal-hal yang menjadi ciri khas agama mereka dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan agama mereka sudah termasuk mengikuti hawa nafsu mereka, bahkan mengikuti  hawa nafsu mereka bisa terjadi dalam hal-hal yang bersifat remeh.

Termasuk dalam hal ini adalah firman Allah Ta‘ala, “Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepada kamu (Hai Muhammad) sampai kamu mengikuti agama mereka, katakanlah (Hai Muhammad): Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (sebenarnya), dan jika kalian mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepada kamu maka tidak ada lagi pelindung dan penolong bagi kamu.” (QS Al-Baqoroh 120)

Perhatikan di sini, Allah menjadikan sikap mengikuti millah mereka, dalam konteks pengkabaran, sedangkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam konteks larangan; hal ini dikarenakan suatu kaum tidak akan pernah ridho kecuali orang lain mengikuti agama mereka secara mutlak. Larangan di sini terletak pada mengikuti hawa nafsu mereka, baik sedikit atau banyak, sudah menjadi perkara yang maklum bahwa mengikuti sebagian ajaran agama mereka berarti juga mengikuti hawa nafsu mereka, atau paling tidak mengandung kemungkinan mengikuti hawa nafsu yang mereka inginkan seperti telah dijelaskan sebelumnya.”

Maka, dengan pemaparan di atas bentuk kekalahan paling telak adalah ketika seseorang mengikuti agama orang kafir, atau mengikuti apa yang mereka inginkan, baik dengan perkataan, perbuatan, keyakinan dan hawa nafsunya.

Kedua, Bermudahanah (kompromi) dengan Orang Kafir

Allah berfirman
فَلا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ, وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah), Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” (QS. Al-Qalam: 8-9)
Allah SWT melarang Rasul-Nya SAW menaati orang-orang yang mendustakan ayat Allah. Mereka adalah orang-orang kafir Makkah karena jalan yang mereka lalui tidak sesuai dengan kebenaran.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsirnya (XVIII/230): “Allah melarang beliau untuk condong kepada orang-orang musyrik, saat itu orang musyrik meminta beliau untuk tidak mengusik mereka, sebagai gantinya mereka juga tidak akan mengusik beliau. Maka, Allah Ta‘ala menerangkan bahwa condong kepada mereka adalah perbuatan kufur, Allah Ta‘ala berfirman:
وَلَوْلا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلا
“Seandainya Kami tidak teguhkan kamu, hampir saja engkau sedikit condong kepada mereka.””(QS. Al-Isra’ : 74)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Fathul Qodir (V/268): “Allah SWT melarang Nabi untuk condong kepada orang-orang musyrik –mereka adalah para pemuka kafir Mekkah karena mereka menyeru beliau untuk mengikuti agama bapak-bapak mereka, maka Allah melarang beliau untuk mentaati mereka. Bisa juga bermakna boleh bersikap pura-pura saja dalam mentaati orang kafir, atau bisa juga ketaatan yang dibolehkan hanya sebatas bersikap lunak (mudarah) dengan menampakkan sesuatu yang lain dengan isi hati, maka Allahpun melarang hal itu.”

Dari firman Allah di atas telah jelas dikabarkan bahwa Allah melarang taat pada orang yang mendustakan ayat-Nya. Maksud taat di sini adalah berkumpul, menarik simpati demi kepentingan duniawi. Bersikap ramah terhadap pelaku maksiat, berteman dengan mereka, makan dan minum dari mereka dan duduk-duduk bersama mereka. Ia sama sekali tidak mengingkari tindakan mereka padahal mampu mengingkarinya. Atau lebih dikenal dengan nama mudahanah.
Sedangkan yang diperbolehkan dalam Islam bukanlah mudahanah, melainkan mudarah. 

Mudarah menurut Ibnu Bathol dalam Fathul Bari (X/ 528),” Mudarah termasuk akhlak kaum mukminin, yaitu bersikap lunak kepada manusia, memperlembut kata-kata, tidak bersuara keras kepada mereka, ini termasuk sebab paling efektif untuk menyatukan hati.”
Seperti yang dilakukan Rasulullah kepada Uyainah bin Hishan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya tentang Uyainah bin Hishan yang meminta izin menemui Nabi SAW. Beliau SAW pun berkata, ‘Izinkanlah dia masuk, amat buruklah Ibnu ‘Asyirah atau saudara ‘Asyirah (yang dimaksud adalah Uyainah).’ Ketika orang itu masuk, beliau berbicara kepadanya dengan suara yang lembut, lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu Anda berbicara dengannya dengan suara yang lembut.’ Maka beliau bersabda, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kejahatannya.’” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW sedang mengajarkan kepada Aisyah dan para sahabat bahwa dalam kondisi tertentu, diperbolehkan untuk menyikapi seseorang sesuai sikap yang ditunjukkan beliau terhadap Uyainah. Ketika itu, Rasulullah SAW berada di hadapannya sehingga tidak menimbulkan fitnah bagi yang lainnya.

Rasulullah SAW berkata lemah lembut di hadapan Uyainah agar ia menghentikan kejahatannya. Meskipun demikian, Nabi SAW juga tidak diam atas kemungkaran yang dilakukan Uyainah. Ketika itu Uyainah hanya masuk menghadap Rasulullah SAW, lalu beliau bersikap lembut kepadanya. Sehingga, ia pun pergi begitu saja dan tidak melakukan suatu apapun yang dapat mencelakai Rasulullah SAW.
Berbeda dengan mudahanah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dengan tegas mengatakan bahwa mudarah adalah sikapnya orang beriman, sedangkan mudahanah adalah sikap orang-orang munafik.
Jadi, ketika seseorang melakukan mudahanah terhadap orang kafir dan para pelaku maksiat, maka dia telah mengalami kekalahan fatal. Sebab, dia telah menggadaikan keimanannya dengan mendiamkan kemungkaran yang terjadi padahal dia mampu untuk mengingkari, terlebih ia berbuat seperti itu hanya untuk mencari simpati demi kepentingan duniawi. Naudzubillahi min dzalik.

Ketiga, Cenderung dan Condong Kepada Orang Kafir dan Orang yang Mengikuti Kebatilan.

Allah berfirman
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-ham-pir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benar-lah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.” (QS. Al-Isra’ : 73-75)

Ada yang mengatakan bahwa dulu Nabi menerima hak mengontrol hajar aswad ketika beliau thawaf tapi kaum Quraisy tidak setuju, mereka mengatakan, “Kami tidak akan biarkan kamu mengambilnya sampai kamu menghormat kepada tuhan-tuhan kami walau hanya dengan isyarat jari.”
Saat itu, terbetik dalam diri Rasul, “Aku cukup menghormat tuhan mereka dan setelah itu aku akan menerima hajar aswad, toh Allah tahu bahwa sebenarnya aku tidak suka melakukan penghormatan itu.” Maka turunlah ayat ini.

Asy-Syanqithi berkata dalam Adhwa’ul Bayan (III/ 619) setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang ada seputar sebab turunnya ayat ini: “Masih banyak pendapat-pendapat lainnya. ‘Ala kulli haal, yang dipakai adalah keumuman lafadz, bukan khusus sebab turunnya ayat. Makna ayat mulia ini adalah: Hampir saja orang-orang kafir melancarkan fitnah kepada kamu, yakni sedikit lagi mereka melakukannya. Makna melancarkan fitnah kepadamu adalah memalingkan kamu dari wahyu yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu membuat-buat wahyu yang lain kepada Kami di mana itu tidak pernah Kami wahyukan. Sebagian ulama mengatakan, mereka hampir saja melakukannya berdasarkan prasangka mereka, tapi belum sampai terjadi.”

Ada yang mengatakan, “Makna hampir melancarkan fitnah adalah terbetiknya dalam hati Rasululloh SAW untuk menyetujui sebagian apa yang mereka sukai dalam rangka menarik mereka kepada Islam karena begitu inginnya beliau mereka masuk Islam.”
Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa Rasul hampir “condong sedikit” dengan orang kafir. Tetapi kita tahu bahwa Rasul memiliki sifat maksum. Maka, Allah segera memalingkan kecondongan itu. Kita tahu bahwa kecondongan sedikit Rasul itu bertujuan baik karena saking gigihnya agar mereka masuk Islam. Namun, dalam ayat-Nya Allah menegaskan bahwa jika hal itu terjadi siksaan akan diberikan di dunia dan di akhira nanti.

Ancaman Allah ini berarti larangan mutlak untuk condong terhadap orang kafir atau bahkan mentaatinya. Meskipun seseorang secara lisan mengklaim keimanan di lisannya, atau bahkan sampai berbusa-busa. Akan tetapi, sikapnya cenderung dan taat kepada orang-orang dzalim atau orang kafir itu mendustakan klaim tersebut, sekaligus mengumumkan bahwa diri sebenarnya telah kalah.

Prinsip yang ia pegang  tidak lagi bermakna ketika perbuatan mendustakannya. Tinggallah prinsip itu sebagai klaim-klaim tak bernilai dan sebatas tinta di atas lembaran kertas. Tidak akan pernah terjadi kefasihan melantangkan prinsip dengan sikap condong kepada orang dzalim dan kafir mengikuti keinginan mereka. Sikap seperti ini tak lain adalah kekalahan yang hina.

Seorang mukmin adalah pribadi yang konsekuen dengan apa yang ia pegang. Apa yang di hati sesuai dengan apa yang terucap dari lisan dan tergambar dari apa yang ia kerjakan. Sekali lagi, kekalahan hakiki akan terjadi jika ketiga hal itu tidak sikron satu sama lain. Atau bahkan ketidaksikronan itu disebabkan kecintaan pada dunia yang fana. Wallahu a’lam bi shawab.

Sumber: kiblatnet
Penulis:Dhani El_Ashim
Editor: Arju
Diambil dari kitab Ats-Tsawabit ‘Ala Darbi Al-Jihad karya syaikh Yusuf Al-Ayiri rahimahullah
Advertisement

1 komentar:

avatar
This comment has been removed by the author.

Write Comment